Friday, January 21, 2011

Sebab Al-Nuzul Ayat 59 SUrah AL Ahzab

Surat Al-Ahzab ayat 59 berisikan perintah tentang keharusan wanita memakai jilbab bila keluar rumah.
Artinya “Hai Nabi,katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah di kenal, karena itu mereka tidak diganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al-Ahzab:59)
Berdasarkan terjemahan Qur’an surat Al-Ahzab:59 diatas, Allah Ta`ala telah memerintahkan kepada Rasulullah agar dia (Rasulullah) menyuruh wanita-wanita mukimin, terutama istri-istri dan anak-anak perempuan beliau karena keterpandangan mereka, agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian demikian membedakan mereka dari kaum jahiliah dan budak-budak perempuan.
Sabab nuzul diturunkannya ayat ini telah dikemukakan oleh Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: Dulu istri-istri Rasulullah Saw. keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, “Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja.” Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.[1]
Telah dijelaskan diatas bahwa Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).
Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ’ (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.[2] Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ’ itu seperti as-sirdâb (terowongan).[3] Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-’Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.[4] Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya.[5] Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ’ah (baju kurung) yang menutupi wanita[6] atau al-qamîsh (baju gamis).[7]
Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah.[8] Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah ra:
Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya,
“Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.” (HR Muslim).
Hadis ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.
Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri’ dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah).[9] Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.[10]
Berkaitan dengan gambaran yudnîna ‘alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ’ al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani,[11] dan as-Sudi.[12] Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi.[13]
Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan Qatadah.[14]Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.[15]
Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya,[16] sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)[17] yang juga diwajibkan (QS an-Nur [24]: 31).
Pendapat ini diperkuat dengan hadis Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia pernah menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw. Setelah shalat usai, Beliau lewat di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasihat dan mengingatkan mereka. Di situ Beliau bersabda,
“Bersedakahlah karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka.” Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf’â al-khaddayn) bertanya, “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami.” (HR Muslim dan Ahmad).
Deskripsi Jabir ra. bahwa kedua pipi wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw. kedua pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadis ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah saw. akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat yang menceritakan adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum.
Penafsiran ini juga sejalan dengan firman Allah Swt. dalam QS an-Nur (24) ayat 31: Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ (dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya). Menurut Ibnu Abbas, yang biasa tampak adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama.[18] Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya’tsa’, adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,[19] dan al-Auza’i.[20] Demikian juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-’Arabi.[21]
Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw.:
“Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang panjang dan digunakan berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah menjawab bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba’dahu (Itu disucikan oleh apa yang sesudahnya).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu). Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat).[22] Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak.[23] Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat, hal itu bukanlah ‘illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.
Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.

[1] As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 414-415.
[2] Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 542.
[3] Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 8 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.
[4] Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 156; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, ), 382; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2001), 355; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr al-Wadhîh (Dar at-Tafsir, 1992), 625.
[5] Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542.
[6] Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 106; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 482; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 469; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 437.
[7] Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 135.
[8] Al-Baqa’i, Nazhm Durar, 135.
[9] Azl-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 264;
[10] Al-’Ajili, al-Futûhât al-Ilâhiyah, vol. 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. ), 102.
[11] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 231-231.
[12] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 240.
[13] Al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr li Kalm al-’Aliyy al-Kabîr, vol. 4 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 290,291; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2, 355 al-Baydhawi, Anwâr al-Tanz lî Asrâr al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 252.
[14] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,
[15] 156; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 231
[16] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 637
[17] Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 8 (tt: Dar as-Salam, 1999), 4481.
[18] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
[19] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
[20] As-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân fî Idhâh al-Qur’an, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 512; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3, 287.
[21] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 301; al-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 360; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3, 382.
[22] Al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 11 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 143.
[23] Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-’Azîz, vol.4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 399.

Friday, January 7, 2011

Jatuh Cinta Pada Syria

Catatan kali ini, sekadar ingin berkongsi bagaimana dgn membaca tentang Syria ana telah jatuh cinta. Ramai teman-teman yang ingin dan seronok memperkatakan tentang Eropah, Paris dan Rom. Namun sejak kali pertama ke sini, ana terlalu ingin ke Syria, biarpun belum berkesempatan. Ana baca catatan perjalanan sahabat-sahabiah yang kesana, menambahkan lagi cinta ana pada bumi Syria. Syria@Syams adalah titik permulaan cahaya kenabian Rasulullah SAW diakui oleh pendeta Nasrani, Buhaira. Dari titik ini, ana gariskan lagi kenapa Syria bisa membuat ana jatuh cinta.

Syria terletak di timur Laut Mediterranean. Syria bersempadan dengan Turki di sebelah utara dan Palestin di sebelah barat. Syria juga bersempadan dengan Iraq di timur dan Jordan di selatan. Syria mencapai kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1946. Sama seperti Mesir, yang turut dijajah Perancis. Kesan jajahan Perancis dapat dilihat menerusi penyebaran agama Kristian, penggunaan bahasa Perancis sebagai bahasa kedua selepas bahasa Arab. Dan tak kurang juga hasil binaan dan budaya.

Namun, semua itu tidak menlenyapkan tamadun Islam di bumi Syria. Makam putera Nabi Adam, Habil yang dibunuh oleh Qabil terletak di bumi Syria. Ia adalah pembunuhan pertama yang dimuka bumi ini. Antara destinasi yang ingin saya kunjungi di Syria adalah Damsyik. Disini, terdapat makam Bilal Bin Rabah (muazzin pertama dalam sejarah Islam), Abdullah Ibn Jaafar, Muawiyah Ibn Abi Sufyan, Ummu Salamah, Ummu Habibah (isteri-isteri Nabi SAW), sebahagian dari imam 12 (Jaafar As-Sodiq, Ali Zainal Abidin dan Muhammad Al-Baqir) dan cucu cicit Nabi (Riqayyah dan Fatimah). Makam Salahuddin Al-Ayubi dan Nuruddin Zaki juga terdapat di bumi Damsyik. Tidak ketinggalan makam nabi Yahya.

Kemudian, ana ingin ke Aleppo, untuk ke Jami' Umawi menziarah makam Nabi Zakaria, lalu ke Jami' Karamah untk melihat yang dikatakan bekas tapak kaki Rasulullah SAW. Tidak ketinggalan untuk ke, Bimaristan Al Argouni iaitu sebuah Hospital zaman Islam yang beroperasi sejak zaman khilafah umayyah hingga akhir kurun ke-19. Dan ana tidak akan lepaskan peluang ke Homs untuk melawat Jami’ Khalid ibn Walid. Di situ terdapat makan Khalid ibn Walid dan Abdullah bin Umar. Di Homs juga, pusingan kincir air yang berusia ribuan tahun yang membekalkan sumber air bagi aktiviti pertanian. Sememangnya Syria merupakan bumi yang subur sejak dahulu lagi. Di sini terdapat pelbagai jenis tumbuhan misalnya pokok zaitun, tin, anggur, epal dan bermacam-macam lagi.

Tidak dilupakan Masjid Umawi yg terletak ditengah bandar Damsyik, menariknya di masjid itu, selain menempatkan pelbagai makam, ada empat menara yang salah satunya dinamakan Menara Isa. Menara Isa itu dikatakan menjadi tempat turunnya Nabi Isa as pada akhir zaman nanti. Selain menara, terdapat empat mimbar yang membawa maksud ada empat mazhab diamalkan di sini. Apabila bersembahyang, ada empat imam mengimamkan solat mengikut mazhab masing-masing sama ada Syafie, Hambali, Maliki dan Hanafi.

Lalu, destinasi pilihan adalah Bosra, yang mengambil masa empat jam perjalanan dari Damsyik, terletak bersempadan dengan Jordan. Di kiri kanan jalan dipenuhi deretan pokok zaitun serta padang pasir. Antara yang menarik ialah Colleseum, bangunan prasejarah yang masih berdiri megah meskipun sudah dibina 2000 sebelum Masihi.Ingin melawat madrasah Ibn Kathir serta Jami’ Al Umari yang dibina oleh Umar Al-Khattab serta melihat gereja Buhaira, pendeta yg mengenali kenabian Rasulullah SAW ketika baginda berniaga ke Syam.